Mencintai Facebook (Part 1)

Saya ingat ketika saya pertama kali dikenalkan dengan Social Networking. Ketika itu saya masih duduk di bangku kelas 1 SMA, seorang teman dari Jakarta International School (JIS) mengirimkan sebuah link, www.friendster.com. Saya bertanya, “Website apaan tuh?”. Dia membalas, “It’s like going to a bar, and meet a lot of people.“. Seorang anak SMA kelas 1 tentunya masih belum bisa menjangkau konsep pergi ke bar, cuma what the hell, saya pergi ke mengunjungi website bar tersebut, dan mendaftarkan diri saya. Dan wow. Saya tidak pernah menyangka bahwa sebuah bar itu sangatlah sepi, teman saya satu-satunya hanyalah si anak JIS tersebut. Saya mencoba untuk browsing di website itu untuk 15 menit, melihat profile teman-temannya si anak JIS tersebut, and lost interest.

But, that was back in 2002, dimana Friendster benar-benar baru diluncurkan dan belum terlalu dikenal di Indonesia. Setahun kemudian, mulai banyak orang Indonesia yang membuat account Friendster dan demam social networking mulai terasa di kota-kota besar di Indonesia. Sekitar tahun 2004-2005, Friendster-lah yang menjadi raja social-networking di Indonesia. Kalimat “Friendster lo apa?” atau “Add Friendster gue dong” seringkali terucap oleh pemuda-pemudi Indonesia yang getol melayari internet. Akan tetapi, a really huge storm was coming for Friendster’s reign in Indonesia… Lanjutkan membaca “Mencintai Facebook (Part 1)”

A Wrap-Up

Ternyata oh ternyata, saya tidak bisa memenuhi janji saya untuk menulis sebuah post baru. Dan itu tentu saja membuat saya menjadi seorang pembohong. Oh well.

Untuk memberi pengisi ditengah kekosongan blog spinning ini, saya akan memberi ringkasan tentang apa saja yang telah membuat saya sibuk belakangan ini.

 

  • Well, yeah I actually I did write something for a post, tapi masih menjadi draft, setengah matang. Waktu itu saya ada ide menulis sesuatu tentang Facebook, tapi entah kenapa penyelesaiannya diundur-undur terus, sampai terjadi point selanjutnya.
  • Minggu tugas yang begitu dahsyat. Tiga buah major assignments untuk satu minggu, yang menghasilkan saya untuk melek selama 70 jam non-stop. Gokil.
  • Persiapan untuk semester exam. Begitu banyak yang harus di pelajari dalam kurun waktu satu minggu. Saya harus mengkompres materi satu semester dalam satu minggu.
  • Saya sedang melakukan final year project bersama British Telecommunication atawa telkomnya Inggris. The project scope is fucking enormous.
  • Pointt selanjutnya is not exactly bad news.
  • Firefox 3.1 beta 1 sudah keluar. Dilengkapi dengan Javascript engine terbaru, SunSpider, membuat browser ini secepat Google Chrome. Sayangnya, seperti semua versi beta Firefox, banyak addons yang tidak jalan dan hampir membuat FF 3.1 sama dengan Chrome, addon-less. But hey, it’s still worth checking out.
Well actually I want to write more, unfortunately Mr. Time won’t allow me to do so. Dan sekarang saya harus kembali belajar Software Engineering yang akan diujikan tanggal 24 Oktober nanti. Wish me luck dear readers :).

This Is How We Should Have Done

coe

Internet filtering ternyata bukan saja menjadi topik panas di Indonesia. Dikutip dari Ars Technica, bahwa Eropa tengah merumuskan sebuah metode filtering yang dianggap ‘terbaik’. Metode filtering ini diharapkan bisa menyeimbangkan permasalahan isi internet seperti pornografi, kekerasan, dan rasisme tanpa harus mengorbankan kebebasan berekspresi.

Yang paling menarik disimak adalah diharapkan bahwa penggunaan filter ini adalah SUKARELA ditempat-tempat pribadi, seperti yang dikutip dibawah ini:

Although generally supporting “voluntary and responsible use of Internet filters,” the Council agreed that filters could legitimately be deployed in public places such as schools or libraries, but that strict limits should be placed on such filtering to prevent it from becoming overbroad.

Selain itu mereka juga menentang penggunaan filter internet ini secara nasional, artinya, pemerintah dilarang ikut campur dalam pembuatan filter ini kecuali konten tersebut memang benar-benar jelas ilegal dan sudah disetujui lembaga yang benar-benar kompeten.

The state should not get involved in any sort of national filtering unless it “concerns specific and clearly identifiable content” that has been declared illegal by a “competent national authority” and that also satisfies the conditions put in place by the European Convention on Human Rights.

Artikel penuhnya bisa dibaca dari link yang tersedia di akhir artikel. Oh btw, I’m sorry about the caps and the bolds, they were unintended. Really.

[Via Ars Technica]